Minggu, 28 Maret 2010

Pura Bukit Darma Durga Kutri ( Situs Peninggalan Sejarah )

PURA Bukit Dharma di Kutri Desa Buruan, lahbatuh, Gianyar. Pura ini adalah sebagai stana (padharman) dari permaisuri Raja Udayana yang bergelar Gunapriya Dharma Patni. Raja Udayana berkuasa sebagai Raja di Bali sekitar abad X Masehi.

Permaisuri Raja Udayana ini melahirkan tiga putra yaitu Airlangga, Marakata dan Anak Wungsu. Perkawinan Mahendradata -- nama asli dari Gunapriya Dharma Patni -- sebagai permaisuri Raja Udayana banyak membawa perubahan kebudayaan Hindu di Bali. Sejak Raja suami-istri ini memerintah Bali pengaruh kebudayaan Hindu Jawa sangat kuat mempengaruhi kehidupan kebudayaan beragama Hindu di Bali. Prasasti-prasasti Bali sejak Raja Udayana memerintah menggunakan bahasa Jawa Kuno. Sebelum Raja Udayana memerintah prasasti Bali menggunakan bahasa Bali Kuno.

Dalam prasasti yang dikeluarkan saat Raja Udayana memerintah Bali, Gunapriya Dharma Patni selalu disebutkan mendahului nama Raja Udayana. Nampaknya Gunapriya Dharma Patni pengaruhnya sangat kuat dalam menetapkan kebijaksanaan kerajaan dalam menata kehidupan berkebudayaan sebagai media pengamalan beragama Hindu di Bali saat itu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan Gunapriya Dharma Patni demikian dihormati di Bali oleh semua lapisan masyarakat Bali. Hal inilah mungkin sebagai salah satu sebab Gunapriya Dharma Patni distanakan (didharmakan) di Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan.

Di pura ini mermaisuri Udayana ini dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Maisasura Mardini. Sayang sementara masyarakat umat Hindu di Bali memiliki persepsi yang sedikit kurang tepat tentang keberadaan Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu. Sesungguhnya Dewi Durga dalam sistem pantheon Hindu bukan sebagai dewanya ilmu hitam atau black magic.

Dewi Durga sebagai Saktinya Dewa Siwa adalah simbol dari kemahakuasaan Tuhan dalam fungsinya sebagai Dewi Kasih Sayang yaitu Dewi Pelebur niat buruk dan membangun niat suci. Untuk membangun niat baik dengan melebur niat buruk memang tidak mudah. Karena sulitnya mencapai upaya tersebutlah disebut Dewi Durga. Kata durga dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata dur artinya sulit dan ga artinya dilalui atau dijalani. Karena itu kata durga artinya sulit dicapai atau sulit dilalui. Niat itu sesuatu gerak diri yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata oleh orang lain. Karena sulitnya itu disebut Durga.

Sangat besar kemungkinannya Gunapriya Dharma Patni dalam kedudukannya sebagai permaisuri raja demikian besar kasih sayangnya pada rakyat. Karena kasih sayangnya itu Gunapriya Dharma Patni sangat berwibawa, tetapi rakyat tidak takut pada ratunya itu. Rakyat demikian cinta dan hormat pada ratunya bukan karena ia diktator, tetapi karena prilakunya yang demikian banyak berbuat bijaksana untuk mensejahterakan rakyat dan memberikan rasa aman pada suasana kehidupan kerajaan.

Gunapriya Dharma Patni setelah menjadi Dewa Pitara dalam wujud niskala dibuatkanlah tempat pemujaan di Pura Bukit Dharma tersebut. Karena kasih sayangnya pada rakyat beliau dibuatkan arca perwujudan sebagai Dewi Durga Mahisasura Mardini. Arca ini diwujudkan sebagai seorang dewi yang langsing bertangan delapan.

Setiap tangannya membawa berbagai senjata. Ada yang memegang senjata trisula, perisai, busur/panah, pedang, cakra, gada, ujung tombak (anak panah) dan ada tangannya memegang ekor lembu Mahisa. Semuanya itu sebagai simbol yang mengandung makna keagamaan. Senjata di tangan arca Durga tersebut sesungguhnya bukanlah lambang dari kekerasan haus perang. Misalnya senjata Cakra Sudharsana.

Menurut Swami Satya Narayana, senjata Cakra Sudharsana bukanlah lambang senjata perang untuk membunuh. Kata Cakra artinya bulat simbol alam semesta. Sudharsana artinya pandangan atau wawasan. Dengan demikian Cakra Sudharsana itu artinya wawasan yang menyeluruh tentang keberadaan alam semesta ini. Barang siapa yang mampu memiliki wawasan yang menyeluruh atau wawasan global tentang keberadaan alam semesta ini dialah yang akan dapat memenangkan kehidupan di bumi yang bulat ini.

Hidup yang menang bukan berarti ada yang dikalahkan. Hidup menang adalah hidup yang aman sejahtera dan bahagia sekala dan niskala. Arca Durga ini distanakan pada bangunan pelinggih di arah ersania yaitu arah timur laut Pura Bukit Dharma ini. Arah ersania adalah arah tersuci menurut kepercayaan Siwa Sidhanta. Ersania di Bali disebut kaja kangin. Kaja kangin adalah arah gunung dan matahari terbit.

Perpaduan dua sumber alam ini melahirkan sumber kehidupan. Gunung menjadi sumber air dan matahari sumber bio-energi. Tujuan penempatan pelinggih utama di ersania sebagai simbol untuk memohon selalu terpadunya dua sumber alam itu sebagai anugerah Tuhan kepada makhluk hidup ciptaan-Nya. Salah satu tangan arca Durga Kutri ini memegang ekor lembu. Ini melukiskan bahwa dunia ini hendaknya dikendalikan dengan kasih sayang Tuhan yang dilambangkan oleh arca Durga tersebut.

Di sebelah kiri arca Durga ini terdapat dua Lingga berpasangan. Lingga ini lambang pemujaan pada Dewa Siwa dengan Dewi Parwati atau Dewi Durga. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menuntun umat agar mengembangkan diri dalam hidupnya ini secara seimbang. Tuhan itu adalah Esa, namun tujuan manusia memuja Tuhan adalah untuk menguatkan spiritualitasnya dalam menopang kehidupannya di bumi ini.

Kehidupan ini banyak aspeknya. Karena itu Tuhan Yang Esa itu dipuja dalam berbagai aspeknya dengan sebutan Dewa. Nama-nama Tuhan yang banyak ini menurut Rgveda diberikan oleh para resi atau para Vipra. Demikianlah pemujaan Tuhan sebagai Dewa dan Dewi bertujuan untuk menguatkan dan menyeimbangkan aspek rohani dan jasmani dari umat pemuja Tuhan itu.

Jumat, 26 Maret 2010

Kreasi Ogoh-ogoh Gianyar, Getas

Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
Dalam perwujudan patung yang dimaksud, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa.
Selain wujud Rakshasa, Ogoh-ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Syurga dan Naraka, seperti: naga, gajah, garuda, Widyadari, bahkan dewa. Dalam perkembangannya, ada yang dibuat menyerupai orang-orang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat. Terkait hal ini, ada pula yang berbau politik atau SARA walaupun sebetulnya hal ini menyimpang dari prinsip dasar Ogoh-ogoh. Contohnya Ogoh-ogoh yang menggambarkan seorang teroris.
Dalam fungsi utamanya, Ogoh-ogoh sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari Pangrupukan, sehari sebelum Hari Nyepi.
Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
Seni dan Bdaya itu memang takan pernah punah dan di makan oleh zaman seperti ogoh-ogoh merupakan kreasi seni yang sangat indah dan patut di lestarikan.

Transformasi Bentuk dalam Cerita Calon Arang

Tari Calonarang dari daerah Bali. Tari ini mengisahkan rangkaian peristiwa yang terjadi pada zaman pemerintahan Prabu Erlangga di Kahuripan (Jawa Timur) pada abad IX. Ia menceritakan perbuatan si janda sakti dan guru ilmu hitam dari Dirah bernama Calonarang yang menyerang kerajaan Daha yang menyebakan jatuhnya banyak korban jiwa manusia tak berdosa. Untuk menghentikan perbuatan janda berputrikan Ratna Mangali ini, Prabu Erlangga minta bantuan kepada seorang brahmana dari Lemah Tulis bernama Empu Bharadah, yang dengan kekuatan ilmu putihnya berhasil mengalahkan Calonarang. Adapun bagian-bagian cerita Calonarang yang lazim dipentaskan adalah: Katundung Ratna Mangali, Iyeg Rarung, Kautus Empu Bahula, dan Pangesengan Baingin. Masyarakat Bali juga memasukkan cerita Balian Batur, Basur, Sudarsana, Patih Prabangsa, dan Dayu Datu, yang sedikit banyak menyangkut ilmu hitam, sebagai lakon Pa-calonarang-an.

Pengertian Tari Calon Arang

Sendratari Calonarang adalah salah satu kesenian Bali yang termasuk dalam katagori kesenian untuk kepentingan ritual yang sakral (wali) tentu saja tidak setiap saat dipentaskan, biasanya pada saat-saat tertentu saja sebagai sarana untuk “melukat” (membersihkan desa). Desa adat Kuta, setiap tahunnya selalu mengadakan pertunjukan ini menjelang odalan pura dalem desa tersebut. untuk wilayah Desa Adat Kuta, kegiatan ini dimulai dari setra adat (kuburan umum) yang letaknya dekat hotel Paradiso dan puncaknya diselenggarakan di depan/pertigaan pasar Kuta.

Sejarah Tari Calon Arang

Dramatari ritual magis yang melakonkan kisah-kisah yang berkaitan dengan ilmu sihir, ilmu hitam maupun ilmu putih, dikenal dengan Pangiwa/Pangleyakan dan Panengen. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya berakar dari cerita Calonarang, sebuah cerita semi sejarah dari zaman pemerintahan raja Airlangga di Kahuripan (Jawa timur) pada abad ke IX. Karena pada beberapa bagian dari pertunjukannya menampilkan adegan adu kekuatan dan kekebalan (memperagakan adegan kematian bangke-bangkean, menusuk rangda dengan senjata tajam secara bebas) maka Calonarang sering dianggap sebagai pertunjukan adu kesaktian (batin). Dramatari ini pada intinya merupakan perpaduan dari tiga unsur penting, yakni Babarongan diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji) dan Patih Keras (Pandung) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya (murid-murid). Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres.

Perkembangan Tari Calon Arang
Dramatari Calonarang, yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat Bali, kini telah berkembang menjadi tiga varian: Calonarang Klasik, Calonarang Prembon, dan Calonarang Anyar. Ketiganya masih tetap menampilkan lakon-lakon yang berkaitan dengan masalah ilmu hitam (pangeliyakan), masing-masing varian menyajikan lakon Calonarang menggunakan berbagai elemen-elemen seni, dengan struktur pertunjukan serta fokus estetik yang berbeda-beda.
Calonarang Klasik, yang diperkirakan muncul sekitar akhir abad XIX di daerah Gianyar Barat (Batubulan, Singapadu, Sukawati), dibentuk oleh unsur-unsur Bebarongan, Pegambuhan, dan Palegongan (tiga jenis seni pertunjukan klasik yang berkembang baik di Kabupaten Gianyar). Unsur Babarongan diwakili oleh barong ket, rangda, dan celuluk; Pegambuhan oleh condong, putri, patih manis (Panji) dan patih keras (Pandung); dan Palegongan oleh sisia-sisia. Peran-peran penting lainnya yang lahir dari dramatari ini sendiri adalah matah gede (wanita tua) dan bondres (orang-orang desa yang berwatak lucu).

Pertunjukan Calonarang Klasik (seperti yang ada di Desa Singapadu, Batubulan, Sukawati, dan sekitarnya) mencakup tiga bagian: pembukaan (pategak), sajian tari dan drama (paigelan), dan penutup (panyuwud). Bagian paigelan masih bisa dipisahkan menjadi dua: tarian lepas (pangelembar) dan tarian berlakon (lampahan). Untuk mengawali pertunjukan, biasanya dimainkan tabuh pategak. Perubahan wajah pertunjukan Calonarang di Bali akhir-akhir ini menarik untuk disimak. Belakangan ini dramatari Calonarang, termasuk kesenian lainnya yang sejenis seperti Wayang Calonarang, Arja Calonarang (Basur), cederung menjadi semakin garang dan menantang dengan ditonjolkannya adegan-adegan yang memperlihatkan pameran kekebalan dan kekuatan batin.

Semakin digemarinya unsur pameran ilmu kekebalan seperti ini tampaknya terkait erat dengan kondisi sosial masyarakat kita dewasa ini yang cepat beringas, emosional, dan suka pamer kekuatan dan kekuasaan serta dengan pongah menghalalkan segala macam cara, sekalipun harus mengabaikan ajaran-ajaran agama, untuk mencapai suatu tujuan.< suatu mencapai untuk agama, ajaran-ajaran mengabaikan harus sekalipun cara, macam segala menghalalkan pongah dengan serta kekuasaan dan kekuatan pamer suka emosional, beringas, cepat yang ini dewasa kita masyarakat sosial kondisi erat terkait tampaknya seperti kekebalan ilmu pameran unsur digemarinya Semakin batin. memperlihatkan adegan-adegan ditonjolkannya menantang garang semakin menjadi cederung (Basur), Calonarang Arja Calonarang, Wayang sejenis lainnya kesenian termasuk dramatari Belakangan disimak. menarik akhir-akhir Bali di pertunjukan.

Alat Musik Pengiring
Pertunjukan Calonarang bisa diiringi dengan Gamelan Semar Pagulingan, Bebarongan, maupun Gong Kebyar.
Sebagai pengiring pertunjukan Calonarang ini digunakan gamelan (Semarandana), yang ditambah dengan keyboard, gitar, dan jembe. Di sela-sela pertunjukan terdengar sound effect yang dimainkan dengan keyboard.

Tempat Pertunjukan Tari Calon Arang
Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang biasanya dilakukan dekat kuburan (Pura Dalem) dan arena pementasannya selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi (trajangan atau tingga) dan pohon pepaya.

Jenis Tari Calon Arang
Calonarang Prembon pada intinya adalah dramatari Calonarang campuran (per-imbuh-an) yang memadukan elemen-elemen seni pertunjukan Bebarongan, Pegambuhan, Palegongan, dan Paarjaan. Peran-peran Paarjaan yang dimasukkan ke dalam Calonarang meliputi: inya, galuh, mantri manis, dan mantri buduh. Dalam pertunjukan dramatari Calonarang Prembon terjadi dialog antara peran-peran yang memakai dialog Pagambuhan dan yang memakai dialog bertembang (magending) seperti dalam Arja. Secara umum, struktur pertunjukan Calonarang Prembon tidak jauh berbeda dengan, bahkan dapat dikatakan mengikuti Calonarang Klasik.
Calonarang Anyar (Kontemporer) adalah bentuk perkembangan dramatari Calonarang yang paling baru. Grup yang mengawali pertunjukan dramatari Calonarang dengan struktur yang berbeda dengan kedua bentuk Calonarang yang disebutkan di depan adalah Gazes Denpasar melalui dua kali pertunjukannya selama dua bulan terakhir ini di Panggung Ardha Candra, Taman Budaya Denpasar (pada tahun 2003).

Seperti yang terlihat dalam pementasan dengan “Balian Batur” pada bulan Oktober dan November yang lalu, dramatari Calonarang Anyar pada dasarnya adalah sebuah tontonan multimedia dan sajian seni drama yang melakonkan kisah Calonarang atau yang sejenisnya, secara kolosal, dengan memadukan berbagai media yang antara lain diambil dari Calonarang Klasik, Wayang Listrik, seni Ogoh-ogoh, Wayang Kulit Calonarang, tari Kontemporer, dan pameran seni pangeliyakan.

Pertunjukan Tari Calon Arang
Ada beberapa jenis seni pertunjukan tradisional Bali yang dapat dimasukkan ke dalam seni Pacalonarangan karena memainkan lakon Calonarang atau yang sejenisnya. Bisa disebut antara lain: Barong Ket Calonarang, Wayang Kulit Calonarang, Legong Keraton Sudarsana, Joged Pingitan Calonarang, Andir Patih Prabangsa, dan Arja Basur. Belakangan ini drama Gong dan Gambuh juga memainkan lakon-lakon Calonarang atau yang sejenisnya. Dikarenakan dalam pertunjukan kesenian-kesenian ini tokoh rangda (dan juga barong) memegang peranan penting; dan dalam setiap pertunjukan Calonarang selalu ditampilkan adegan adu kekuatan batin, maka muncul suatu kesan bahwa semua seni pertunjukan Bali yang menampilkan rangda adalah Calonarang, dan setiap pertunjukan Calonarang adalah ajang pameran adu kekebalan dari orang-orang sakti.

Wajah pertunjukan Calonarang (Klasik, Prembon, Kontemporer) telah berubah menjadi suatu pertunjukan horor yang meneror penonton dengan adegan-adegan yang berisikan ilmu kekebalan. Sesungguhnya hal ini sudah ada sejak dahulu, namun dalam sepuluh tahun terakhir ini menjadi satu unsur pertunjukan yang semakin diutamakan.
Adegan ngundang-ngundang seperti ini adalah suatu hal yang sudah biasa dalam pertunjukan Wayang Kulit Calonarang.

Beberapa dalang Wayang Kulit Calonarang menjadikan bagian ngundang-ngundang liyak ini sebagai salah satu elemen pertunjukan yang sangat ditonjolkan sekaligus sebagai daya tarik. Pada bagian ini si dalang secara terbuka dan terang-terangan menyebutkan “identitas” orang-orang yang mempunyai dan mempraktikkan ilmu hitam, tempat di mana yang bersangkutan memperoleh kesaktian tersebut, tingkat kemampuan orang tersebut, kadang-kadang dengan menyebutkan harga dari sabuk pengeliyakan yang dimiliki seseorang. Gelombang pasangnya popularitas pertunjukan Calonarang dengan pameran ilmu kakebalannya mengingatkan kita akan gelombang pasang popularitas kesenian Janger di Bali, dengan berbagai provokasi politiknya pada pertengahan tahun

Sendratari Calonarang adalah salah satu kesenian Bali yang termasuk dalam katagori kesenian untuk kepentingan ritual yang sakral (wali) tentu saja tidak setiap saat dipentaskan, biasanya pada saat-saat tertentu saja sebagai sarana untuk “melukat” (membersihkan desa). Desa adat Kuta, setiap tahunnya selalu mengadakan pertunjukan ini menjelang odalan pura dalem desa tersebut. untuk wilayah Desa Adat Kuta, kegiatan ini dimulai dari setra adat (kuburan umum) yang letaknya dekat hotel Paradiso dan puncaknya diselenggarakan di depan/pertigaan pasar Kuta.
Pertunjukan “Tari Barong” yang sering dipentaskan untuk umum sebagai sarana pentas (balih-balihan) memiliki beberapa unsur yang hampir menyerupai sendratari Calonarang, namun nilai sakralnya yang berkurang.

Setelah mengetahui tentang tari Calonarang diharapkan kita semua khususnya generasi muda senantiasa melestarikan tari Calonarang agar tidak tenggelam. Sebagai generasi muda kita harus lebih mengenal tentang seni dan kebudayaan, baik seni tradisional maupun seni modern. Karena pada saat ini kita sebagai generasi muda dituntut ikut serta aktif dalam perkembangan dunia yang semakin pesat. Untuk itu kita sebagai generasi muda harus tetap menjaga keaslian dari seni dan budaya itu sendiri.